Jangan Biarkan Orangutan Punah

save

Jangankan biar hilang semua yang telah diberi
Jangankan pergi rasa manusiawi dan naluri diri

Penggalan lirik dari lagu Deep Blue Sea yang dibawakan Anggun berkolaborasi bersama Deep Forest ini berpesan tentang pentingnya kelestarian alam bagi keberlangsungan makhluk hidup. Juga mengingatkan agar manusia tidak menurutkan rasa tamaknya dan kehilangan rasa manusiawinya. Sebuah pesan sederhana namun mengena mengingat alam di Indonesia, khususnya Borneo dan Sumatera yang semakin tereksploitasi dan mengancam kelangsungan hidup para orangutan.

Saya masih ingat sebuah iklan lingkungan hidup yang pernah ditayangkan oleh TVRI. Saat itu bumi Indonesia masih begitu hijau dan hutan belantaranya bak Amazon. Begitu eksotis, hijau, indah dan penghuninya yang terdiri atas bangsa satwa pun sangatlah beragam dan keeksisan mereka terjaga. Namun kondisi saat ini sebaliknya, begitu mengenaskan. Jumlah hutan semakin tergerus oleh perkebunan kelapa sawit, pemukiman, dan kegiatan tambang. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan perkebunan pun menyebabkan asap yang sangat menganggu pernafasan baik manusia yang tinggal di sekelilingnya, juga para orangutan yang tinggal di dalamnya.

Laju kerusakan hutan (deforestasi) di Borneo sudah sangat mencemaskan. Sepertiga hutannya telah rusak sejak tahun 1973 seperti yang dilansir oleh media online Mongabay. Wilayah hutan di Kalimantan menghilang sekitar 600 ribu hektar pertahunnya. Jika dulu Borneo bak permadani hijau kini sebagian besar hutan Borneo telah menghilang, bak pria yang mengalami kebotakan serius. Padahal hutan bukan hanya rumah flora dan fauna, melainkan juga penyimpan cadangan air, karbon dan turut berkontribusi untuk mengontrol iklim daerah tersebut.

Saya masih ingat beberapa tahun silam menyambangi Borneo. Dulu kesan Borneo dengan hutannya yang lebat begitu kuat di benak. Tapi ketika berkunjung ke pulau Derawan, Balikpapan, Banjarmasin, dan Samarinda saya melihat sendiri keberadaan hutan tersebut luasannya mulai sangat berkurang. Saat melihat rumah bekantan di sebuah konservasi di Kalimantan Timur, hutannya tidak begitu rimbun. Sayangnya waktu itu belum sempat menuju Tanjung Puting untuk melihat konservasi orangutan, jadinya cerita perjalanan ke Borneo saat itu didominasi kisah ke pulau Derawan yang indah dan Pusat Konservasi Bekantan.

Tentang orangutan saya mulai memperhatikannya ketika berkunjung ke Pusat Primata Schmutzer di Ragunan. Memang saya hanya pernah melihat sosok orangutan di Taman Safari Prigen dan Kebun Binatang Ragunan. Saya kagum dengan primata ini karena ia memang terlihat cerdas dan paling mirip dengan manusia. Saya heran dan tidak habis pikir jika ada manusia yang begitu bengis melenyapkan nyawa orangutan dan menganggapnya sekedar hama.

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan orangutan merupakan kera besar yang ada di Indonesia, jenis kera besar seperti gorila, simpanse umumnya ada di Afrika. Dulunya orangutan tersebar di Asia Tenggara tapi kini satwa ini dalam jumlah populasi yang dikategorikan kritis (critically endangered) tertinggal di Sumatera dan Kalimantan. Sebenarnya ada juga orangutan di Sabah dan Sarawak, tapi jumlahnya relatif sedikit jika dibandingkan di Indonesia.

Orangutan di Taman Nasional Kutai (dok. wikipedia)

Orangutan di Taman Nasional Kutai (dok. wikipedia)

Orangutan merupakan kera berbulu kemerahan, berkaki pendek, tidak berekor dan berlengan panjang. Jenis primata yang juga dikenal dengan nama mawas ini memiliki kerabatan dekat dengan manusia dengan kesaamaan DNA mencapai 96,4 persen. Bedanya, volume otak orangutan lebih kecil dari manusia.

Orangutan hanya hidup di Sumatra dan Borneo. Ada perbedaan antara orangutan di kedua tempat itu dimana orangutan Sumatra (Pongo abelii) memiliki bulu yang lebih terang dibandingkan orangutan Borneo (Pongo pgymaeus).

Jumlah orangutan yang ada di Indonesia berkorelasi dengan ketersediaan lahan rumah mereka. Mereka tinggal di pohon-pohon dan menyantap buah-buahan. Mereka sangat jarang beraktivitas di bawah, bahkan untuk kebutuhan air minum pun bisa mereka lakukan di atas pohon dengan melubangi batang pepohonan yang menampung air hujan. Tapi ada juga yang mampu beradaptasi di dataran rendah dan rawa gambut. Oleh karena mereka banyak beraktivitas di pepohonan, maka mereka sangat kelimpungan jika pepohonan itu banyak ditebang. Selain kehilangan rumah mereka juga kehilangan sumber makanan. Ada banyak kisah-kisah memilukan dari para orangutan yang kurus, kelaparan, cacat, dan sakit karena asap.

Jumlah orangutan yang hidup di bumi Indonesia juga menyusut drastis. Di Borneo dari 200 ribu orangutan, kini hanya terdapat 50 ribuan ekor. Bahkan nasib orangutan di Sumatra lebih tragis, yakni hanya tertinggal 6.500 ekor. Orangutan meskipun keberadaannya dilindungi Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Eksosistemnya tetap saja banyak yang tega memperjualbelikan atau dibunuh bak hama. Kondisi ini membuat bendera merah untuk keberadaan satwa ini semakin dikibarkan. Apalagi pada Juli 2016, orangutan Kalimantan menyusul status orangutan Sumatera yaitu saat ini statusnya sama-sama kritis (critically endangered). Status ini disampaikan oleh International Union for Conservation Nature.

Sebenarnya sudah ada konservasi orangutan di Borneo. Di antaranya di Taman Nasional Kutai, Tanjung Puting, Hutan Lindung Sungai Wain. Presiden RI pada tahun 2007 juga mencanangkan program strategi dan rencana aksi konservasi dengan tujuan menstabilkan populasi orangutan dan habitatnya. Namun, masih ada di antara orangutan yang tinggal di luar konservasi dan hidup mereka makin tersiksa. Saya sendiri juga heran dan miris meskipun aksi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan menuai banyak kecaman dari negara tetangga dan dunia, namun pemerintah Indonesia seakan adem ayem dan bersikap seolah-olah itu hal biasa, terbukti terjadi lagi asap di Martapura Barat September 2016 silam. Hai sudah butakah nurani mereka dan hanya menurutkan nafsu para perusahaan tambang, pengusaha kayu, dan pengusaha perkebunan kelapa sawit?

Mengingat ruang gerak mereka yang semakin terbatas dan kemampuan reproduksi mereka yang juga lambat, yakni masa reproduksi berkisar usia 7-10 tahun dengan lama kandungan 8,5-9 bulan maka orangutan betina yang usianya di alam liar mencapai 45 tahun hanya mampu melahirkan tiga keturunan karena orangutan betina rata-rata melahirkan 7-8 tahun sekali. Oleh karena itu tidak ada waktu lagi, semua pihak harus bekerja sama untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup orang utan di Indonesia. Jika hutan dibiarkan menghilang maka semua flora dan fauna yang diberi akan hilang. Semampang 4 Oktober silam diperingati sebagai hari satwa sedunia, yuk kita cintai alam dan satwa yang ada di sekeliling kita, termasuk ikut menjaga keberlangsungan orangutan. Save orangutan!

Orangutan Jumlahnya Semakin Menyusut (dok. antaranews)

Orangutan Jumlahnya Semakin Menyusut (dok. antaranews)

~ oleh dewipuspasari pada Oktober 6, 2016.

Tinggalkan komentar